Jakarta | mukhtarudin.com — Di bawah kepemimpinan Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI), Mukhtarudin, pelindungan pekerja migran Indonesia (PMI) memasuki babak baru. Bagi Mukhtarudin, pelindungan PMI bukan lagi sekadar urusan izin dan remitansi, melainkan penataan sistem yang menempatkan manusia sebagai pusat kebijakan.
Di tengah tantangan globalisasi tenaga kerja, Mukhtarudin menyalakan arah baru: membangun ekosistem migrasi aman berbasis data, pendidikan, dan martabat.
Langkah itu bukan slogan semata. Dalam sepekan terakhir, KemenP2MI menandatangani nota kesepahaman dengan Kementerian Luar Negeri untuk memperkuat sistem pelindungan PMI lintas negara. Melalui integrasi data nasional, setiap pekerja migran kini dapat terpantau secara real-time oleh pemerintah dan perwakilan RI di luar negeri.
“Negara tidak boleh datang setelah masalah terjadi. Perlindungan harus dimulai sejak niat untuk berangkat,” tegas Mukhtarudin di Jakarta.
Kebijakan tersebut melengkapi peluncuran sistem digital Migrasi Aman — platform terpadu yang memungkinkan calon PMI mengakses seluruh proses keberangkatan tanpa perantara. Sistem ini tidak hanya menghadirkan efisiensi, tetapi juga menghapus praktik birokrasi berbelit dan ketergantungan pada calo.
Dalam sistem baru ini, seluruh tahapan — mulai dari pendaftaran, pelatihan, hingga verifikasi dokumen — dapat dilacak dan disahkan secara transparan. “Transformasi ini bukan sekadar inovasi teknologi, melainkan koreksi terhadap cara lama yang terlalu birokratis,” ujar Mukhtarudin.
Namun, bagi Mukhtarudin, perlindungan tidak cukup di meja data. Ia memperkuat pendidikan vokasi bagi calon PMI bekerja sama dengan lembaga pelatihan nasional dan mitra luar negeri.
“Tenaga kerja terampil akan dihormati. Itulah perlindungan sejati,” katanya.
Di saat bersamaan, ia menggandeng Pemuda Masjid Dunia untuk menggerakkan kampanye kesadaran migrasi aman di komunitas akar rumput. Gerakan sosial ini menjadi bentuk baru diplomasi moral, bahwa pelindungan PMI adalah tanggung jawab bersama antara negara dan masyarakat.
Kebijakan tersebut berpuncak pada Mandaya Awards 2025, penghargaan bagi tokoh-tokoh inspiratif yang berjasa dalam pemberdayaan pekerja migran dan masyarakat desa. Di tangan Mukhtarudin, penghargaan ini bukan seremoni, melainkan simbol penghargaan negara terhadap kerja dan pengorbanan rakyatnya di luar negeri.
Pengamat masyarakat sipil Romadhon Jasn menilai arah kebijakan Mukhtarudin sebagai langkah komprehensif yang menggabungkan tiga dimensi penting: kolaborasi antar-lembaga, digitalisasi data, dan pemberdayaan manusia.
“Beliau tidak hanya membangun sistem, tapi mengembalikan makna negara sebagai pelindung warganya. Dari sinilah migrasi aman menemukan martabatnya,” ujarnya kepada awak media, Jumat (17/10/2025).
Romadhon menambahkan, integrasi data P2MI–Kemlu merupakan langkah monumental. Selama ini, data pekerja migran tersebar di berbagai instansi sehingga menghambat respons cepat saat terjadi krisis.
“Sekarang, dengan sistem terpadu, negara bisa hadir dalam hitungan menit saat krisis terjadi,” katanya.
KemenP2MI mencatat lebih dari 4,3 juta PMI aktif di 22 negara, dengan total remitansi mencapai Rp180 triliun per tahun. Namun, Mukhtarudin menegaskan bahwa keberhasilan tidak hanya diukur dari angka.
“Keberhasilan bukan hanya berapa uang yang dikirim, tapi berapa banyak yang pulang dengan rasa aman dan harga diri yang utuh,” pungkasnya.
Ketika negara mulai menghitung manusia lebih dari remitansi, di sanalah perubahan bermula. Dalam perubahan itu, Mukhtarudin menjahit ulang hubungan antara negara dan rakyatnya yang bekerja jauh dari tanah air — bukan sekadar sebagai pekerja, melainkan wajah martabat bangsa di dunia.
