MUKHTARUDIN.COM – Sejak jaman penjajahan, sejarah telah membuktikan peranan penting kaum perempuan Indonesia, di antaranya Tjut Nyak Dien, Martha Cristina Tiahahu, mereka adalah pahlawan pejuang perempuan yang turut berjasa dalam melawan penjajahan di Indonesia. Selain itu, Kongres Perempuan Indonesia pada 22 Desember 1928 menjadi tonggak sejarah yang menunjukkan persatuan dan perjuangan panjang kaum perempuan Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, sekaligus untuk memperjuangkan hak-hak perempuan dan menghapus diskriminasi terhadap perempuan. Untuk menghormati peranan dan perjuangan kaum perempuan, tanggal 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu di Indonesia.
Saat ini, perempuan menjadi salah satu faktor atau sumber daya yang mempunyai peranan penting dalam Pembangunan Nasional. Berdasarkan survei penduduk antar sensus 2015, jumlah penduduk Indonesia 2019 diproyeksikan mencapai 266,91 juta jiwa, dimana 49,78% atau 132,89 juta jiwa adalah perempuan, dimana jumlah penduduk usia produktif adalah sebesar 68,7% dari total populasi penduduk Indonesia. Jumlah penduduk perempuan ini diprediksi akan terus meningkat jumlahnya lebih banyak daripada laki-laki. Pada tahun 2032, diperkirakan jumlah penduduk perempuan mencapai 149,19 juta jiwa, sementera laki-laki berjumlah 149,17 juta jiwa. Pada 2045 jumlah penduduk perempuan 160,21 juta jiwa dan laki-laki 158,76 juta jiwa. Dilihat dari data Pemilu 2019, dari sejumlah 192.828.520 orang pemilih yang terdaftar sebesar 96.557.044 orang atau lebih dari 50% adalah kaum perempuan.
Dengan demikian, partisipasi aktif dan kualitas sumber daya manusia, dalam hal ini perempuan adalah merupakan salah satu kunci dari keberhasilan Pembangunan Nasional. Perempuan menjadi aktor atau pelaku dan faktor penentu bagi pembangunan itu sendiri. Membangun perempuan Indonesia, berarti membangun keluarga Indonesia yang sejahtera dan membangun rakyat Indonesia seutuhnya ke depan. Filosofi ini yang kemudian diterapkan dalam program pembangunan melalui strategi pengarusutamaan gender dalam pembangunan, sesuai dengan instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional.
Di berbagai forum nasional maupun Internasional termasuk di Indonesia, persoalan tentang perempuan merupakan salah satu isu penting yang selalu menjadi perhatian, terutama yang terkait tentang persoalan gender. SDG’s memasukkan isu gender sebagai salah satu klausal yang menjadi tujuan utama yang akan dicapai oleh seluruh negara di dunia. Demikian pula dengan Indonesia, Indonesia menunjukkan komitmen dan partisipasi aktif dalam pencapaian tujuan SDG’s dan menjadikan isu gender sebagai salah satu isu utama dalam pembangunan, khususnya pembangunan sumber daya manusia.
Namun, walaupun pemerintah sudah berusaha untuk meningkatkan kualitas hidup perempuan dan penguatan kapasitas kelembagaan pengarusutamaan gender, data menunjukkan bahwa masih ada kesenjangan antara perempuan dan laki-laki dalam hal akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat, serta penguasaan terhadap sumber daya, seperti pada bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial budaya, dan bidang strategis lainnya. Data BPS tahun 2016 menunjukkan bahwa tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan sebesar 50,77 persen, lebih kecil jika dibandingkan dengan laki-laki yang mencapai 81,97 persen, artinya, kesetaraan gender dalam hal akses ekonomi belum tercapai. Meskipun pemerintah telah memiliki peraturan tentang “upah yang sama untuk kerja yang sama” dan melarang adanya diskriminasi pengupahan, praktek di lapangan menunjukkan bahwa di semua lapangan pekerjaan, upah pekerja perempuan lebih kecil daripada upah pekerja laki-laki. Selisih upah perempuan berkisar antara 15% – 33% lebih rendah dari upah laki-laki untuk pekerjaan di sektor yang sama. Tindakan diskriminatif juga banyak menimpa kaum perempuan di sektor industri atau pabrik yang sebatas mempekerjakan mereka hanya sebagai buruh marginal, 30% perempuan hanya dipekerjakan di pabrik dan tidak menduduki pada posisi atau jabatan penting.
Dalam bidang pendidikan, dari data Kemendikbud menunjukkan, persentase perempuan pengajar perguruan tinggi sebesar 40,58%, sementara pengajar perguruan tinggi laki-laki sebesar 59,42%. Adanya persepsi bahwa perempuan hanya bertanggung jawab dalam urusan domestik membuat mereka kurang termotivasi untuk mengambil gelar S2/S3 sebagai syarat pengajar perguruan tinggi. Selain itu, pernikahan masih menjadi alasan utama bagi perempuan di Indonesia untuk tidak melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi.
Dari beberapa latar belakang di atas, selanjutnya kami berusaha untuk melihat bagaimana sebenarnya gambaran tentang kondisi dan upaya yang dapat dilakukan untuk mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di Indonesia.
Pengertian tentang Gender
Gender berbeda dengan jenis kelamin. Gender mengacu pada pembagian peran dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki yang dibentuk oleh masyarakat berdasarkan apa yang dianggap pantas bagi perempuan dan laki-laki menurut norma, adat dan kebiasaan masyarakat. Sebagai contoh, adanya stereotype perempuan dianggap lemah, tidak kompeten, emosional, sementara laki-laki dianggap kuat, mandiri rasional dan berani. Laki-laki diposisikan pada peran produktif, publik, maskulin dan pencari nafkah utama, sementara perempuan diposisikan pada peran reproduktif, domestic, feminim dan pencari nafkah tambahan. Dalam praktiknya dikotomi peran ini memunculkan berbagai bentuk ketidakadilan gender, seperti adanya subordinasi dalam pengambilan keputusan politik, kekerasan, atau marginalisasi pada perempuan.
Kesenjangan dan ketidakadilan gender sering muncul di masyarakat yang masih menganut budaya patriarki. Patriarki berasal dari kata patriakat yang berarti struktur yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral dan segala-galanya. (Alfian, 2013) Masyakat Indonesia masih menganut budaya patriakri yang cukup kental, dimana laki-laki masih memiliki peran sebagai kontrol utama dalam masyarakat, dan mendominasi dalam menentukan kekuasaan dalam masyarakat, baik secara ekonomi, sosial, politik, termasuk institusi pernikahan.
Pengarusutamaan gender (PUG) adalah strategi yang dilakukan secara rasional dan sistematis untuk mencapai dan mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam sejumlah aspek kehidupan manusia dalam rumah tangga, masyarakat dan negara, melalui kebijakan dan program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari seluruh kebijakan dan program di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan. PUG ini bukanlah program atau kegiatan, melainkan suatu strategi pembangunan untuk mencapai keadilan dan kesetaraan.
Tujuan PUG adalah memastikan apakah perempuan dan laki-laki memperoleh akses yang sama kepada sumber daya pembangunan, berpartisipasi sama dalam proses pembangunan, mempunyai kontrol yang sama atas sumber daya pembangunan, dan memperoleh manfaat yang sama dari hasil pembangunan. PUG bertujuan adalah memastikan seluruh kebijakan program dan kegiatan telah adil dan setara bagi perempuan dan laki-laki, juga dirasakan oleh anak-anak, lansia dan difabel. Dan juga memastikan adanya keberlanjutan, pelestarian dan pengembangan kualitas penyelenggara PUG, serta memastikan bahwa seluruh jajaran memahami konsep, prinsip dan strategi PUG dalam penyelenggaraan pembangunan yang menjadi tugas, fungsi dan kewenangannya.
Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan
Kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki di berbagai negara di dunia, secara umum memang belum sepenuhnya merata. Dalam World Economic Forum 2017 lalu, kesetaraan gender di Indonesia berada di posisi 84 dari 144 negara di dunia. Masih terdapat ketidaksetaraan hak-hak perempuan dan laki-laki yang perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah maupun dunia. Dalam kajian forum tersebut, menyimpulkan bahwa tidak ada satu pun negara di dunia berhasil menutup kesenjangan gender. Kesenjangan gender yang dimaksud meliputi :
- partisipasi dan kesempatan ekonomi perempuan
- capaian pendidikan
- kesehatan dan kelangsungan hidup
- pemberdayaan politik
Upaya pencapaian kesetaraan gender berdasarkan empat kategori tersebut, dari 106 negara yang masuk dalam survei ini diprediksi membutuhkan waktu hingga 100 tahun. Salah satunya upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mendorong kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan secara terus menerus dan berkelanjutan. Dua hal ini menjadi salah satu issue penting dunia yang dicanangkan dalam SDGS 2030.
Kesetaraan gender bertujuan untuk mengakhiri diskriminasi dan menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Pada kenyataannya perempuan masih tertinggal dalam banyak aspek, sehingga potensi mereka sebagai pelaksana pembangunan tidak maksimal. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk memberdayakan perempuan. Diskriminasi terhadap perempuan masih terjadi dan ketidakadilan membuat pemberdayaan perempuan seringkali belum menjadi prioritas, terutama dalam meningkatkan partisipasi perempuan dalam mencapai kemandirian ekonomi.
Faktor budaya patriarki dalam masyarakat Indonesia memang tidak bisa dipungkiri menjadi salah satu penyebab diskriminasi atau adanya subordinasi terhadap perempuan. Komnas Perempuan mencatat terdapat 259.150 kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2016. Hasil pendataan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional 2016, menunjukkan 1 dari 3 perempuan usia 15–64 tahun sebesar 18,3% mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan/selain pasangan, yang didominasi oleh Kekerasan Dalam Rumah tangga sejumlah 12,3%. Perempuan mengalami kekerasan dalam rumah tangga menjadi hal yang tidak mudah untuk dihindari untuk terjadi, karena persepsi budaya yang menganggap perempuan sebagai kaum lemah yang tidak mempunyai kekuasaan lebih daripada laki-laki.
Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) bersama Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2017 menunjukkan capaian Indeks Pembangunan Gender (IPG) Indonesia pada 2016 sebesar 90,82. Angka ini menunjukan percepatan pembangunan gender untuk perempuan masih lebih lambat daripada laki-laki.
Adanya ketertinggalan salah satu kelompok masyarakat dalam pembangunan, khususnya perempuan disebabkan oleh berbagai permasalahan di masyarakat yang saling berkaitan satu sama lainnya. Permasalahan paling mendasar dalam upaya peningkatan kualitas hidup perempuan dan anak adalah pendekatan pembangunan yang belum mengakomodir tentang pentingnya kesetaraan antara perempuan dan laki-laki, anak perempuan dan anak laki-laki dalam mendapatkan akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat pembangunan. Untuk itu, pengarusutamaan gender diperlukan sebagai salah satu strategi untuk mewujudkan pembangunan yang dapat dinikmati secara adil, efektif, dan akuntabel oleh seluruh penduduk, baik perempuan, laki-laki, anak perempuan, dan anak laki-laki.
Pembangunan berorientasi pada peningkatan sumber daya manusia sebagai operator pembangunan. Oleh karena itu, capaian pembangunan harus diselaraskan dengan melekatkan Indeks Pembangunan Gender (IPG). Pembangunan itu membuat seseorang menjadi berdaya sehingga mampu menjadi subyek dan tidak menjadi obyek. Indikator pembangunan diukur melalui IPG dilakukan dengan mengukur pendidikan laki-laki dan perempuan.
Berbagai upaya yang dilakukan untuk mencapai kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, antara lain :
1) Pendidikan merupakan upaya utama dalam memberikan pengetahuan dan memberikan kesadaran terhadap kesetaraan gender pada perempuan. Melalui penyuluhan dan peningkatan kapasitas khusus perempuan, pemberdayaan perempuan di tingkat akar rumput dibuat oleh dan untuk masyarakat, dengan bantuan dari mereka yang sudah terlebih dahulu mempunyai kemampuan. Sehingga membuat perempuan dapat mengenali kemampuan, potensi alam sekitarnya, mengatasi masalah yang mereka hadapi, dan mengetahui hak-hak mereka dalam program pembangunan. Keterwakilan perempuan dalam segala bidang harus terpenuhi agar perempuan dapat berperan sebagai pengambil keputusan dan kebijakan dalam berbagai bidang secara berkualiatas.
2) Percepatan kesetaraan gender merupakan masalah kompleks yang melibatkan multisektor sehingga membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, salah satunya pemerintah provinsi. Komitmen pelaksanaan pengarusutamaan gender (PUG) yang masih kurang menjadi salah satu masalah yang sering muncul. Sesuai Instruksi Presiden (INPRES) Nomor 9 Tahun 2000, mengharuskan semua Kementerian/Lembaga di tingkat pusat dan Pemerintah Daerah untuk melaksanakan PUG. Penyusunan kebijakan, program dan kegiatan pembangunan harus menggunakan perspektif gender. Oleh karena itu, perlu dilakukan dialog secara berkesinambungan untuk memberikan pemahaman lebih agar mengoptimalkan komitmen dan peran pengambil keputusan dalam pelaksanaan PUG dan PPRG di kementerian, lembaga dan daerah.
3) Sejak dikeluarkannya Surat Edaran Bersama tentang Strategi Nasional Percepatan PUG melalui Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) tahun 2012 oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Kementerian Keuangan, Kementerian PPN/Bappenas, dan Kementerian Dalam Negeri, pemerintah gencar mengawal pelaksanaan PUG dan PPRG di Kementrian/Lembaga dan Pemda. Saat ini, Strategi Nasional PUG melalui PPRG sedang dalam proses untuk ditingkatkan menjadi Peraturan Presiden (Perpres) yang diharapkan akan mendorong dan memberikan manfaat yang lebih baik bagi kelangsungan hidup perempuan. Gambaran keberhasilan PUG, dapat dilihat sebagai contoh dalam pelayanan publik, di antaranya dengan mendorong ketersediaan ruang menyusui, tempat penitipan anak dan ruang terbuka hijau yang responsif gender, atau penanganan bencana dengan penyediaan sarana prasarana bagi korban bencana yang sesuai dengan kebutuhan spesifiknya.
4) Pada forum Sidang Perburuhan Internasional yang diselenggarakan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) pada 28 Mei 2018 di Geneva, Swiss, Indonesia menegaskan komitmennya dalam menjunjung kesetaraan gender, serta mencegah kekerasan dan pelecehan di tempat kerja. Dalam sidang tersebut dirumuskan konsep Standar Internasional tentang penghentian kekerasan dan pelecehan di dunia kerja yang akan diadopsi pada sidang perburuhan internasional selanjutnya. Dengan demikian, Pemerintah secara berkesinambungan akan terus mendukung dan mendorong terwujudnya kesetaraan gender di tempat kerja, mencegah kekerasan, dan pelecehan di tempat kerja, melalui berbagai regulasi dan kebijakan dalam negerinya, dengan mengacu pada standar internasional sebagai perwujudan peran aktifnya di forum internasional.
5) Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO No. 100 tentang Pengupahan yang Sama bagi Pekerja Laki-laki dan Wanita untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya, serta Konvensi ILO No. 111 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan. Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi PBB tentang Penghapusan semua bentuk diskriminasi terhadap perempuan yang sejalan dengan Deklarasi ILO Tahun 1998 mengenai “Decent Work for All”. Sebagai penegasan komitmen tersebut, pemerintah Indonesia menjalankan beberapa program nasional, seperti pencanangan Gerakan Nasional Non-Diskriminasi di tempat kerja, penerbitan panduan kesetaraan upah laki-laki dan perempuan serta membentuk gugus tugas kesetaraan upah. Untuk itu, peningkatan kapasitas dan kepedulian para pejabat pemerintah maupun daerah tentang pentingnya praktik kesetaraan upah, penghentian kekerasan, dan pelecehan di tempat kerja, harus terus menerus dilakukan. Dengan akan diberlakukannya standar internasional tentang kesetaraan gender, menghentikan serta mencegah kekerasan dan pelecehan di tempat kerja, maka semua elemen masyarakat Indonesia makin serius melaksanakan hal tersebut demi tercapainya kesempatan ekonomi dan pekerjaan yang layak bagi seluruh pekerja, khususnya bagi kaum perempuan.
6) Mendorong pemerintah dalam membuat kebijakan dan program yang khusus mendukung usaha perempuan dalam menciptakan kemandirian ekonomi. Sebagai contoh penyaluran kredit mikro khususnya bagi usaha kecil yang dijalankan oleh perempuan seperti kredit ultra mikro, membina ekonomi keluarga sejahtera/MEKAR dan sebagainya. Dengan adanya berbagai kebijakan ini diharapkan perempuan dapat mengurangi ketergantungan ekonomi terhadap laki-laki, dan dapat lebih berdaya dalam meningkatkan kualitas hidup keluarga dan perempuan dalam berpartisipasi aktif dalam pembangunan.
7) Mendorong segera disahkannya RUU yang berpihak pada kepada perempuan, di antaranya RUU tentang Penghapusan Kekerasan pada Perempuan. Indonesia mempunyai banyak UU tentang Perkawinan, UU Perlindungan Anak tapi semua itu belum mengakomodir hak korban dari kekerasan khususnya terhadap perempuan. Indonesia belum memiliki UU komprehensif yang memberi akses keadilan pada korban. Tidak adanya acuan hukum membuat korban kekerasan menjadi sulit untuk mendapatkan akses keadilan dan angka kekerasan terhadap perempuan terus meningkat tanpa penanganan yang memadai.
8) Untuk membangun demokrasi perwakilan yang berkesetaraan dan berkeadilan, UU telah mewajibkan partai politik memenuhi kuota 30 persen keterwakilan perempuan dalam daftar calon anggota legislatif. Tentunya kuota 30 persen ini tidak diharapkan hanya pada DCT saja, tetapi pada jumlah keterwakilan perempuan yang berhasil duduk di DPR RI ataupun di DPRD. Hingga saat ini, keterwakilan perempuan di DPR RI baru mencapai sekitar 17 persen, sedangkan di DPRD berkisar pada 12 persen. Untuk itu, dibutuhkan komitmen yang kuat dari internal partai politik untuk mengakomodasi dan menempatkan calon perempuan pada posisi jadi dan memberikan dukungan yang seluas-luasnya terhadap perempuan, baik dari bantuan pendanaan maupun peningkatan kapasitas perempuan, serta menempatkan perempuan pada posisi penting dan pengambil keputusan di partai maupun di pemerintahan.
Berbagai upaya diatas mutlak harus dilaksanakan agar kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di Indonesia dapat dicapai. Diperlukan komitmen yang kuat dari berbagai pihak, baik pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah, kementrian atau lembaga serta seluruh lapisan masyarakat. Masalah kesetaraan gender bukan hanya menjadi masalah perempuan, tetapi juga harus menjadi kesadaran dan komitmen dari kaum laki-laki itu sendiri. Kita tidak dapat mengatakan kapan kita harus berhenti dalam mendorong kesetaraan gender, tapi segala upaya harus terus dilaksanakan dan diinternalisasikan secara terus menerus di dalam diri kita dan masyarakat, menjadi budaya yang dianut di dalam masyarakat. Kesetaraan bukan berarti mendominasi, tetapi menjadikan perempuan mitra dan pelaku penting, khususnya dalam membangun masyarakat dan pembangunan nasional. Menciptakan perempuan tangguh yang berkualitas, berarti membangun keluarga yang sejahtera dan membangun masyarakat dan negara Indonesia yang kuat, maju dan sejahtera.
Oleh : Drs. Mukhtarudin