SEJUMLAH pihak menyalahkan program biodiesel (B30) sebagai penyebab kenaikan harga minyak goreng. Hal itu dibantah kalangan yang lain, salah satunya dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki).
Sekretaris Jenderal Gapki Eddy Martono menampik bahwa penerapan program biodiesel mengganggu pasokan atau harga minyak goreng dalam negeri. “Yang menyebabkan harga minyak goreng tinggi memang karena harga minyak nabati internasional sedang tinggi,” jelasnya.
Eddy juga membantah bahwa pengusaha lebih suka menyuplai ke biodiesel ketimbang minyak goreng. “Program B30 itu bersifat mandatory dan volume ditentukan pemerintah,” ujarnya.
Hal itu dikuatkan oleh peneliti senior LPEM FEB-UI, Mohamad Revindo. Ia juga menjelaskan bahwa permasalahan harga minyak goreng yang tak kunjung turun disebabkan ketidakmampuan Kementerian Perdaganganan melakukan distribusi dengan baik. “Kementerian Perdagangan seharusnya menjalankan operasi distribusi secara menyeluruh di titik-titik yang teridentifikasi sangat kekurangan pasokan dengan pengawasan yang superketat, tidak serta-merta menerima alasan para produsen dengan begitu saja,” kata Revindo.
Menurut Revindo, pemerintah juga tidak cukup hanya menunggu produsen dan distributor menjalankan kebijakan. Langkah keras ataupun tangan besi melalui pengawasan hingga penjatuhan sanksi harus dilakukan.
“Menko Perekonomian juga harus memberikan peringatan kepada Menteri Perdagangan atas kegagalan implementasi kebijakan dan berbagai perubahan tanpa kejelasan,” menurut Revindo.
Anggota Komisi VII DPR Mukhtarudin turut bersuara. “Menteri Perdagangan tidak boleh menyalahkan program B30 yang sudah dimandatkan oleh Presiden Jokowi. Seharusnya Mendag tahu bahwa penggunaan CPO untuk program B30 hanya menggunakan sekitar 7,3 juta liter dan untuk minyak goreng tersedia sekitar 32 juta liter. Ini tidak mengganggu produksi minyak goreng,” tukas Mukhtarudin.
Baca selengkapnya : mediaindonesia.com