Iconomics – Pemerintah diminta mengantisipasi beban subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan gas LPG sebagai dampak dari perang Rusia-Ukraina. Apalagi konflik kedua negara itu dinilai akan membawa pengaruh politik dan ekonomi sehingga pemerintah perlu menghitung ulang strategi, kebijakan pemulihan ekonomi dan reformasi struktural tahun anggaran 2022.
“Jadi, saya kira konflik global ini kembali menyadarkan kita untuk selalu waspada dan siap untuk menghadapi pendadakan strategis,” kata anggota Komisi VII DPR Mukhtarudin dalam keterangan resminya beberapa waktu lalu.
Mukhtarudin mengatakan, mitigasi struktural, substantif, dan komprehensif yang selama ini dijalankan untuk menangani pandemi Covid-19, juga dapat menjadi alternatif dan pembelajaran dalam mengatasi pendadakan strategis. Karena itu, pemerintah didorong untuk menavigasi kebijakan untuk mengatasi masalah supply shock yang ditandai dengan gejolak harga energi.
Salah satu pembelajaran utama dari pendadakan strategis yang dapat dipelajari pemerintah, kata Mukhtarudin, yakni pandemi Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina. Kedua hal tersebut mempengaruhi dinamika global, salah satunya melalui harga minyak bumi yang semakin meningkat.
“Karena kenaikan harga minyak dunia juga akan menyebabkan beban subsidi untuk pembelian minyak mentah semakin berat,” ujar Mukhtarudin.
Sesuai data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), subsidi energi pada Januari 2022 mencapai Rp 10,2 triliun. Jumlah tersebut dinilai telah mengalami pembengkakan lebih dari 4 kali lipat jika dibandingkan dengan periode sebelumnya.
“Untuk itu, perumusan strategi kebijakan yang bersifat komprehensif, holistik, yang selalu mengandalkan sinergitas lintas sektor harus menjadi formula andalan untuk mengatasi pendadakan strategis,” kata Mukhtarudin.
Menurut Mukhtarudin, kenaikan harga minyak mentah dunia yang tembus di angka US$ 105 per barel, berdampak terhadap anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Beban subsidi untuk BBM dan LPG akan meningkat melebihi asumsi APBN 2022.
Naiknya minyak mentah dunia, kata Mukhtarudin, juga akan membawa pengaruh terhadap kenaikan harga Indonesia Crude Price (ICP) yang saat ini sudah berada di level US$ 95,45 per barel. Dengan naiknya harga ICP, maka akan menciptakan gap asumsi ICP yang terdapat di dalam APBN sebesar US$ 63.
“Karena itu, dinamika ini harus terus dimonitoring dan diantisipasi dampaknya. Baik harga minyak, maupun harga LPG,” tutur Mukhtarudin.
Mukhtarudin karena itu berharap, kedua negara yang sedang perang dapat bersama-sama menggunakan saluran diplomatik guna menghentikan perang dan memulihkan stabilitas serta terciptanya perdamaian.